Senin, 30 Maret 2009
PENGHIJAUAN SEBAGAI SALAH SATU CARA MENGATASI PERMASALAHAN KOTA
Oleh Muchammad Chusnan Aprianto
Pendahuluan
Permasalahan lingkungan hidup di kota begitu kompleks. Permasalahan tidak terbatas pada kondisi sosialnya, namun juga pada komponen lingkungan lainnya. Permasalahan yang ada mulai dari ketersedian air bersih, sanitasi, polusi, kemacetan, sampai kepada berkurangnya ruang terbuka hijau.
Keterbatasan lahan dan peningkatan jumlah penduduk setiap tahun menyebabkan kota menjadi padat. Akhirnya, kedua faktor tersebut dapat menimbulkan kekumuhan kota. Aktivitas kota akan mempengaruhi kualitas lingkungan perkotaan. Kota dengan kegiatan industri, perdagangan, dan jasa yang intensif akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Kompetisi penggunaan lahan yang terjadi antara guna lahan dengan fungsi ekonomis, seperti perdagangan dan jasa, industri serta pemukiman, mendesak keberadaan ruang terbuka bervegetasi.
Pertambahan Penduduk
Saat ini Kota Yogyakarta dapat dikatakan sebagai kota yang padat. Kepadatan kota dikarenakan adanya pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini, walaupun diiringi dengan pemekaran luas kota, namun tidak mampu mencegah permasalahan yang muncul akibat dari pertambahan penduduk. Tabel berikut menunjukkan pertambahan penduduk Kota Yogyakarta mulai tahun 1969 sampai dengan tahun 2006.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta.
Sumber: Suryo, 2004; BPS DIY terdapat di: http://www.bps.go.id.
Tabel di atas memperlihatkan jumlah penduduk yang semakin meningkat mulai tahun 1972 sampai tahun 2006. Pertambahan penduduk yang tinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sekitar 100.000 penduduk. Peningkatan penduduk akan menyebabkan kondisi kota semakin padat. Kepadatan penduduk juga dipengaruhi oleh jumlah wisatawan yang datang ke kota. Yogyakarta sebagai kota budaya memiliki angka kunjungan wisatawan yang cukup tinggi. Berikut adalah jumlah kunjungan wisatawan di Provinsi DI Yogyakarta tahun 2001 sampai 2005.
Tabel 2. Jumlah Wisatawan di Provinsi DI Yogyakarta.
Sumber: BPS Provinsi DIY terdapat di http://www.bps.go.id.
Berdasarkan data di atas jumlah wisatawan di Provinsi DIY setiap tahun semakin meningkat. Yogyakarta sebagai daerah budaya tampaknya menjadi tujuan wisata baik dari wisatawan mancanegara maupun dalam negeri. Jumlah wisatawan yang tinggi ini akan menambah jumlah kendaraan bermotor yang masuk ke Yogyakarta.
Pertambahan Kendaraan Bermotor
Pertambahan penduduk mengakibatkan peningkatan jumlah sarana untuk memenuhi dan memudahkan kegiatan sehari-hari. Sarana yang semakin bertambah adalah kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor sangat dibutuhkan sebagai kendaraan yang dapat mempersingkat waktu.
Tahun 2001 sampai dengan 2005, perkembangan kendaraan bermotor di DIY rata-rata 11,9 % per tahun. Pertambahan kendaraan bermotor baru setiap tahun mencapai 83.761 unit dan lebih dari 90 % diantaranya kendaraan roda dua. Pertambahan kendaraan roda empat hanya 7.853 unit per tahun (Kompas 2006a).
Secara umum, pertambahan sepeda motor lebih pesat dibandingkan kendaraan roda empat. Setiap tahun jumlah kendaraan roda dua bertambah sekitar 11,8 %, sementara kendaraan roda empat hanya 6,9 %. Pada tahun 2002, jumlah motor di DIY sebanyak 597.143 unit, kemudian bertambah menjadi 843.077 unit pada tahun 2005 (Kompas 2006b). Jumlah kendaraan bermotor tahun 2005 terbanyak berada di Kota Yogyakarta, yaitu 275.590 unit atau 28,23 % dari total jumlah kendaraan bermotor. Padahal, panjang jalan di kota hanya 224,86 kilometer (Kompas 2006a). Keadaaan ini menyebabkan sejumlah jalan di Kota Yogyakarta sering mengalami kemacetan seperti di Jalan Malioboro dan Jalan Dipenogoro dan sekitarnya.
Kurangnya Ruang Terbuka Hijau
Daerah perkotaan dengan jumlah penduduk yang padat menyebabkan berkurangnya lahan untuk vegetasi. Lahan bervegetasi diganti dengan permukiman, gedung-gedung, dan industri untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota. Penggunaan lahan Kota Yogyakarta pada tahun 2005, dominasi penggunaan lahan adalah lahan bukan sawah yaitu seluas 3.250 Ha (96,25%), sedangkan untuk lahan sawah hanya seluas 123 Ha (3,75%). Kecamatan yang masih mempunyai lahan sawah adalah Kecamatan Mantrijeron sebesar 4 Ha (3,28%), Mergangsan 5 Ha (4,10%), Umbulharjo 61 Ha (50%), Kotagede 26 Ha (21,31%) dan Tegalrejo 26 Ha (21,31%) (Lampiran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Yogyakarta 2005-2025).
Ruang terbuka hijau yang sempit menyebabkan radiasi panas dari sinar matahari tidak dipantulkan, namun langsung diserap oleh gedung-gedung, dinding, dan atap. Sarana dan prasarana seperti fasilitas gedung, jalan, pertokoan, permukiman, pabrik menyebabkan berkurangnya jumlah ruang vegetasi di kota. Sarana transportasi yang semakin meningkat menyebabkan naiknya kuantitas gas CO2. Sedikit ruang vegetasi yang ada menyebabkan berkurangnya penyerapan CO2, akibatnya terjadi ketidakseimbangan komposisi udara. Hal ini mengakibatkan suhu permukaan meningkat 10 s.d. 20oC dari suhu udara ambient (Heidt dan Neef 2006).
Besarnya jumlah penduduk, banyaknya bangunan-bangunan, kendaraan bermotor yang memacetkan jalan, dan kebisingan menyebabkan Kota Yogyakarta terasa semakin sesak dan tidak nyaman. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, suatu hal yang sangat diperhatikan adalah kenyamanan dalam melakukan suatu kegiatan, apalagi jika berhubungan dengan kegiatan kesenangan atau bermain maka faktor kenyamanan merupakan prioritas yang sangat penting. Sebagian besar kota di Indonesia saat ini dirasakan tidak nyaman, penuh kebisingan, panas waktu siang hari, polusi udara, banjir jika musim penghujan. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya salah satu daya dukung lingkungan.
Peningkatan suhu udara di perkotaan terjadi akibat meluasnya areal terbangun sebagai hasil dari proses urbanisasi yang intensif. Kota akan menyimpan dan melepaskan panas di siang hari dan malam hari. Pada malam hari kota menjadi lebih panas dibanding daerah sekitarnya dan terjadi efek pulau bahang atau urban heat island.
Manfaat Penghijauan
Jalur hijau vegetasi berguna untuk mengurangi efek pulau bahang. Tumbuhan dan air akan mengurangi panas melalui evapotranspirasi yang dilakukan. Penambahan luas permukaan untuk vegetasi dapat menurunkan suhu maksium udara.
Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 mengemukakan bahwa ruang terbuka hijau mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan kesegaran, kenyamanan, dan keindahan lingkungan
2. Memberikan lingkungan bersih dan sehat
3. Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga, biji, serta buah atau hasil lainnya.
Manfaat dari segi fisik
Manfaat dari segi ini dapat langsung dirasakan. Manfaat yang dapat langsung dirasakan adalah menciptakan iklim mikro di dalam perkotaan. Rumput-rumputan walaupun tergolong tanaman bawah, namun memiliki peranan untuk merubah komposisi CO2 udara sekitar, presipitasi, dan suhu sekitar dalam kisaran kecil (Dukes et al. 2005).
Contah lain adalah Kota Guangzhou, Cina. Kota Guangzhou adalah kota yang terletak di Selatan Cina yang mengalami pertumbuhan kota yang pesat sejak tahun 1980an. Pertumbuhan kota ini menyebabkan ruang terbuka dimanfaatkan sebagai sarana pendukung kegiatan penduduk seperti permukiman atau gedung-gedung. Hal ini menciptakan perubahan iklim mikro dalam kota sehingga kota menjadi panas (urban heat islands).
Pemerintah daerah Guangzhou telah melakukan usaha dan menerapkan berbagai macam tipe penghijauan dan kebijakan bentanglahan terkait penghijauan sejak tahun 1949. Diperkirakan total wilayah taman dan ruang hijau lainnya meningkat dari 37,36 km2 tahun 1978 menjadi 83.5 km2 tahun 1999. Telah diukur dan disimpulkan bahwa pada jalan yang memiliki vegetasi menurunkan temperatur di siang hari dibandingkan dengan jalan yang tidak memiliki vegetasi. Pohon di dalam taman, dapat menurunkan temperatur di bawah kanopi sebesar 2,1 oC, sedangkan jalan dan area permukiman sebesar 0,5 sampai dengan 0,9 oC. Penghijauan juga dapat meningkatkan kelembaban sebesar 9% sampai 25% (Weng dan Yang 2003).
Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.
Tabel 6. Kemampuan Tanaman Menyerap Debu.
Sumber: Tandjung 2003.
Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus. Manfaat dari adanya tajuk hutan kota ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota (Dahlan dan Endes 1992).
Penghijauan atau hutan kota dapat mengurangi efek pulau bahang. Vegetasi mengurangi efek ini melalui penyerapan sumber-sumber pencemar. Penelitian di Toronto tahun 2005 membuktikan bahwa vegetasi dapat mengurangi sumber-sumber pencemar NO2, S02, CO, PM10 and ozon. Rumput di atap dapat menyerap CO 0,14 - 0,35 Mg, menyerap NO2 0,65 - 1,60 Mg, menyerap ozon 1,27 - 3,1 Mg, menyerap PM10 0,88 - 2,17 Mg, menyerap SO2 0,25 - 0,61 Mg. Pohon mampu menyerap CO 0,06 - 0,57 Mg, NO2 0,62 - 3,74 Mg, ozon 1,09 - 7,4 Mg, PM10 1,37 - 5,57 Mg, dan SO2 0,23 - 1,37 Mg (Currie dan Bass 2005).
Ruang terbuka hijau berupa hutan kota mampu mereduksi kebisingan, tergantung dari jenis spesies, tinggi tanaman, kerapatan dan jarak tumbuh, dan faktor iklim yaitu suhu, kecepatan angin, dan kelembaban. Penelitian di hutan kota Sabilal Muhtadin Banjarmasin (luas ± 2,5 ha) menunjukkan bahwa hutan kota mampu menurunkan kebisingan. dengan luas areal penghijauan. Penurunan kebisingan dari titik 1 (di luar areal hutan kota) dengan kebisingan dititik ukur 2 ( di dalam hutan kota) sebesar 7,51 dB atau 12,74 %, penurunan kebisingan titik ukur 1 dan titik ukur 3 adalah sebesar 10,58 dB atau 17,95 %, dan penurunan kebisingan dari titik ukur 2 ke titik ukur 3 sebesar 3,07 dB atau 5,96 %, berarti penurunan rata rata kebisingan di luar hutan kota dengan kebisingan di dalam hutan kota sebesar 12,07 % (Zulfahani et.al. 2005).
Manfaat dari segi sosial
Keuntungan sosial dari penghijauan dapat dirasakan oleh individual, sebuah organisasi, atau seluruh penduduk. Pemandangan ruang hijau dapat meningkatkan produktivitas kerja, mengurangi kekerasan rumah tangga, dapat mempercepat penyembuhan. Keuntungan ruang hijau juga dirasakan oleh organisasi. Pekerja yang di ruangan sekitanya terdapat pemandangan hijau vegetasi memiliki produktivitas kerja yang lebih tinggi, dan supervisor menyatakan bahwa pekerjanya lebih produktif.
Sebagian besar keuntungan penghijauan/lingkungan hijau terukur pada tingkat individu. Pemandangan vegetasi dan air telah dibuktikan mengurangi stres, meningkatkan penyembuhan, dan mengurangi penderita frustasi dan agresi. Pemandangan ruang hijau di rumah juga terkait dengan rasa kasih sayang yang tinggi dan kepuasan tetangga.
Tinggal dan bermain di tempat hijau/bervegetasi dapat sangat bermanfaat bagi anak-anak. Bermain di tempat hijau dengan pohon dan vegetasi dapat mendukung perkembangan kemampuan dan kognitif anak. Hidup dalam lingkungan bervegetasi dapat memperbaiki prestasi sekolah siswa dan mengurangi laporan kekerasan dalam rumahtangga (Westphal 2003).
Kualitas lingkungan fisik permukiman seperti lingkungan bervegetasi atau tanaman, banyaknya penyinaran matahari, dan sedikitnya kebisingan memiliki kaitan erat dengan umur panjang penduduk. Faktor ruang hijau dan jalan bervegetasi dekat permukiman secara signifikan mempengaruhi kelangsungan hidup 5 tahun penduduk dan ini tidak tergantung pada usia penduduk, jenis kelamin, status perkawinan, prilaku terhadap komunitasnya, dan status sosial ekonomi (Takano et al. 2002).
Persentase ruang hijau vegetasi di permukiman penduduk menunjukkan hubungan positif terhadap kesehatan penduduk secara umum. Penduduk yang memiliki ruang hijau vegetasi dengan radius 1 km sampai 3 km di sekeliling permukiman memiliki perasaan sehat yang tinggi dibandingkan dengan penduduk yang tinggal tanpa vegetasi (Maas et al. 2006).
Gambar 2 menunjukkan hubungan antara ruang terbuka hijau vegetasi dengan kesehatan penduduk.
Gambar 3. Hubungan antara jumlah ruang terbuka hijau (dalam radius 3 km) dengan kesehatan pribadi secara umum (Maas et al. 2006).
Kaitan segala aspek penghijauan di atas terhadap kehidupan masyarakat menjadikan masyarakat kota berwawasan ekologi. Tujuan dari masyarakat kota berwawasan ekologis adalah menyampaikan permasalahan lingkungan perkotaan yang tanpa dirasa cenderung memburuk, menjadikan kota tempat yang aman dan nyaman untuk bekerja, hidup, dan membesarkan anak tanpa merusak kemampuan generasi depan untuk berbuat hal yang sama. Tujuan masyarakat berwawasan ekologi terletak pada umat manusia yang hidup berdampingan dengan siklus alam pada prioritas kepedulian lingkungan dalam penyelenggarakan perkotaan (Inoguchi et.al. 2003).
Kesimpulan
Permasalahan yang selalu ada di kota adalah pertambahan penduduk setiap tahun. Pertambahan ini menyebabkan peningkatan sarana penunjang berupa kendaraan bermotor dan gedung/bangunan. Sarana ini menyebabkan masalah pada kondisi fisik kota. Masalah yang muncul adalah terciptanya efek pulau bahang, udara kota yang tidak sehat, kebisingan, dan ketidaknyamanan hidup di kota. Penghijauan mampu mengembalikan iklim mikro kota sehingga menghilangkan efek pulau bahang. Vegetasi juga mampu menyerap debu dan polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor. Manfaat lain adalah vegetasi mampu meredam kebisingan dan meningkatkan kenyamanan hidup di kota.
Daftar Pustaka
BPS Provinsi DIY., Jumlah Penduduk DIY Tahun 2005. Terdapat di: http://www.bps.go.id (Diakses tanggal 1 November 2007).
BPS Provinsi DIY., Jumlah Penduduk DIY Tahun 2006. Terdapat di: http://www.ypr.or.id/arikel/download/download_statistik_pendudukdiy2006_070307.pdf (Diakses tanggal 1 Desember 2007).
Currie, B.A. dan Bass, B., 2005. Estimates of Air Pollution Mitigation With Green Plants and Green Roofs Using The Ufore Model. Environment Canada Adaptation and Research Group. Toronto. Terdapat di: http://cansee.org/cdocs/2005/63/CANSEE%20Paper%20October%
2005.doc (Diakses: 12 September 2007).
Dahlan. dan Endes, N., 1992. Hutan Kota: untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Jakarta.
Dukes J.S. Nona R.C. Elsa E.C. Lisa A.M. Rebecca, S. Susan, T. Todd, T. Harold, A.M. dan Chistopher, B.F., 2005. Responseof Grassland Production to Single and Multiple Global Environmental Changes. Plas Biology. 3:0001-0009.
Heidt, F. dan Neef, M., 2006. Benefits of Urban Green Space and Urban Climate. RegioComun – Institute for Strategic Regional Management, Department of Geography, University of Mainz. Germany. Terdapat di: http://www.regiocomun.geowiss.uni-mainz.de (Diakses: 19 September 2007).
Inoguchi, T. Edward, N. Dan Glen, P., 2003. Kota dan Lingkungan Pendekatan Baru Masyarakat Berwawasan Ekologi. Pustaka LP3E. Jakarta.
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan.
Kompas., 2006a. Pertambahan Sepeda Motor di DIY 11 Persen per Tahun. Sabtu, 23 September 2006. Terdapat di: http://www.kompas.com/ (Diakses Tanggal 2 November 2007).
Kompas., 2006b. Tiap Bulan 7.000 Motor Baru Penuhi Jalan di DIY. Senin, 2 Oktober 2006. Terdapat di: http://www.kompas.com/ (Diakses Tanggal 2 November 2007).
Lampiran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Yogyakarta 2005-2025., 2007. Yogyakarta. Terdapat di http://www.jogja.go.id (Diakses tanggal 1 Desember 2007).
Maas J. Robert, A.V. Peter, P.G. Sjerp, dV. dan Peter, S., 2006. Green Space, Urbanity, and Health: how strong is the relation? Journal of Epidemiology Community Health. 60:587-592.
Suryo, D., 2004. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. Disampaikan pada The First International Conference on Urban History Surabaya, 23-25 Agustus 2004. Terdapat di: www.indie-indonesie.nl/content/documents/papers-urban%20history/joko%20 suryo.pdf (Diakses tanggal: 2 Desember 2007).
Takano, K. Nakamura K. dan Watanabe M., 2002. Urban Residential Environments and Senior Citizens’ Longevity in Megacity Areas: The Importance of Walkable Green Spaces. Journal of Epidemiology Community Health. 56:913-918.
Weng, Q. dan Yang S., 2003. Managing The Adverse Thermal Effects of Urban Development in a Densley Populated Chinese City. Journal of Environmental Management. Xx(0000):xxx-xxx.
Westphal, LM., 2003. Urban Greening and Sosial Benefits: A Study of Empowerment Outcomes. Journal of Arboriculture. 29(3):137-147.
Zulfahani, R. Hatta, G.M. Rusmayadi. dan Maharso., 2005. Peran Hutan Kota dalam Menurunkan Tingkat Kebisingan. Enviro Scienteae. 1(1): 29-35.
Sumber :
http://chusnan.web.ugm.ac.id/index.php?subaction=showfull&id=1197967930&archive=&start_from=&ucat=2&do=artikel18 Dec 2007
Sumber Gambar:
http://upik.jogja.go.id/news/FOTO%20JOGJA%20BARU1.jpg
Jumat, 20 Maret 2009
HUTAN, REBOISASI-PENGHIJAUAN, DAN AIR
BEBERAPA WAKTU lalu kita mengalami musibah kekeringan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah untuk kesekian kalinya menggariskan lagi kebijakan melakukan reboisasi. Agar reboisasi dapat berdaya guna sebesar-besarnya, perlu diperhatikan beberapa mitos tentang hubungan hutan dan air.< air. p>
Mitos 1. Hutan menambah air. Jika hujan jatuh di hutan, sebagian air hujan diintersepsi (tertahan) oleh tajuk hutan. Hanya sebagian hujan saja yang jatuh ke tanah. Ini kita alami pada waktu kita berteduh di bawah pohon. Jika hujan tidak keras, keringlah kita. Hujan yang tertahan oleh tajuk pohon menguap kembali ke udara. Makin besar dan lebat tajuk pohon, makin banyak air hujan yang tertahan dan hilang sebagai uap air.
Seperti makhluk hidup lain, pohon juga berkeringat, yang disebut evapotranspirasi. Air evapotranspirasi berasal dari tanah yang diserap oleh pohon. Pohon dengan tajuk besar yang hijau sepanjang tahun mempunyai laju evapotranspirasi per tahun yang tinggi, misalnya pinus. Sebaliknya, pohon yang menggugurkan daunnya dalam musim kemarau, laju evapotranspirasi per tahunnya rendah, misalnya jati.
Dengan adanya intersepsi dan evapotranspirasi, sebagian air hilang menguap. Jadi, hutan tidak menambah air, tetapi mengurangi air. Jumlah air per tahun berkurang. Terdapat literatur ilmiah yang luas tentang hal ini. Namun, dengan adanya hutan, permukaan tanah tertutup serasah dan humus. Tanah menjadi gembur. Air dengan mudah meresap ke dalam tanah dan mengisi persediaan air tanah. Air yang mengalir di permukaan tanah (air larian) berkurang. Oleh karena itu, walaupun jumlah air per tahun berkurang, persediaan air untuk musim kemarau bertambah. Bahaya banjir pun berkurang.
Mitos 2. Penebangan hutan mengurangi air. Dengan penebangan hutan, intersepsi air hujan berkurang. Laju evapotranspirasi pun berkurang. Dengan demikian, penebangan hutan tidak mengurangi jumlah air, melainkan menambah air. Ini pun telah ditunjukkan dalam banyak laporan ilmiah. Akan tetapi, dengan penebangan hutan, serasah dan humus hilang. Kegemburan tanah berkurang. Jika hujan turun, laju penyerapan air ke dalam tanah berkurang. Pengisian persediaan air tanah berkurang. Air yang mengalir di atas permukaan tanah naik. Akibatnya, persediaan air dalam musim kemarau berkurang. Sebaliknya, dalam musim hujan kita kelebihan air yang sebagian berupa banjir. Jadi, dengan penebangan hutan, walaupun jumlah air bertambah, sebagian air berupa banjir dalam musim hujan, sedangkan dalam musim kemarau kita kekurangan air. Laju erosi pun meningkat.
Mitos 3. Reboisasi/penghijauan menambah air. Reboisasi adalah penanaman pohon dalam kawasan hutan yang rusak dan penghijauan penanaman pohon di luar kawasan hutan. Reboisasi/penghijauan memperluas tajuk pohon sehingga intersepsi hujan dan evapotranspirasi bertambah sehingga reboisasi/penghijauan mengurangi jumlah air per tahun. Banyak literatur ilmiah yang melaporkan hal ini. Namun, reboisasi/penghijauan menambah laju peresapan air ke dalam tanah dan mengurangi volume air yang mengalir di atas permukaan tanah. Dengan demikian, walaupun jumlah air per tahunnya berkurang, bahaya banjir dalam musim hujan berkurang dan bahaya kekurangan air dalam musim kemarau berkurang pula. Laju erosi juga turun. Untuk mencapai tujuan ini, khusus untuk penghijauan harus dicatat agar diusahakan adanya tumbuhan bawah serta terjadinya serasah dan humus di bawah pohon untuk meningkatkan peresapan air ke dalam tanah dan mengurangi volume air yang mengalir di atas permukaan tanah. Jika tidak, penghijauan justru meningkatkan laju erosi.
Mitos 4. Efek reboisasi/penghijauan lama. Dalam kondisi iklim dan tanah di Indonesia di hutan yang rusak gulma dan tumbuhan kecil dengan cepat dapat tumbuh kembali. Serasah pun dengan cepat terbentuk. Secara eksperimental telah ditunjukkan, fungsi hidro-orologi hutan terutama dilakukan oleh tumbuhan bawah (undergrowth) dan serasah. Karena itu, fungsi hidro-orologi juga dapat pulih dengan cepat dalam bilangan setahun-dua tahun saja. Hal ini juga telah dibuktikan secara eksperimental. Bahkan, tanpa reboisasi/penghijauan pun pemulihan fungsi hidro-orologi dapat terjadi dengan cepat, asalkan hutan tidak diganggu lagi. Dengan perkataan lain, fungsi hidro-orologi dapat juga pulih dengan cepat melalui reboisasi/penghijauan alamiah.
Pengelolaan reboisasi/penghijauan
Di dunia fana tak ada hal yang 100 persen positif. Selalu ada segi negatifnya. Demikian pula hutan mempunyai efek positif maupun negatif. Karena itu, reboisasi/penghijauan harus dikelola dengan baik untuk memperbesar efek positif dan memperkecil efek negatif. Dengan mengingat uraian di atas, kita usahakan agar peresapan air hujan ke dalam tanah dapat diperbesar secepatnya sehingga pengisian kembali persediaan air tanah dengan cepat pulih. Dengan demikian, bahaya banjir juga berkurang. Karena hutan mengurangi air, reboisasi/ penghijauan dilakukan dengan jenis pohon yang laju evapotranspirasinya rendah. Sudah barang tentu dengan memperhatikan iklim dan tanah. Misalnya, jati di daerah dengan musim kemarau panjang, bukan pinus. Pengalaman menunjukkan, di daerah yang dengan sukses dilakukan reboisasi dengan pinus, penduduk mengeluh bahwa airnya menyusut. Dapat juga dilakukan reboisasi/penghijauan dengan jenis pohon yang evapotranspirasinya tinggi, misalnya lamtoro. Dalam musim kemarau, lamtoro itu dipangkas untuk pakan ternak dan menghasilkan kayu bakar. Dengan pemangkasan itu, laju evapotranspirasi dikurangi sampai minimum.
Reboisasi/penghijauan secara alamiah sangat sesuai untuk rehabilitasi hutan lindung dan taman nasional. Vegetasi yang tumbuh terdiri atas bermacam-macam jenis sesuai dengan kondisi tanah dan iklim daerah itu. Keanekaan hayatinya tinggi. Dana untuk reboisasi lalu digunakan untuk pembangunan pedesaan guna menanggulangi kemiskinan. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat untuk merambah hutan ditiadakan atau paling sedikit dikurangi. Hutan terlindung dan dapat pulih secara alamiah. Demikian pula fungsi hidro-orologinya.
Sumber dana
Sumber pertama dana reboisasi/penghijauan berupa dana reboisasi dari pemerintah. Dapat juga diusahakan sumber dana luar negeri melalui debt swap, yaitu pembayaran utang luar negeri dengan rupiah. Dengan persetujuan bersama, rupiah itu digunakan untuk reboisasi/penghijauan.
Sumber potensial lain ialah Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) dalam kerangka Protokol Kyoto. Dalam hal ini MPB berupa reboisasi/penghijauan. Reboisasi/penghijauanmenyerapCO dari udara dan disimpan dalam tubuhtumbuhan sehinggakadar CO, bahayapemanasan globalberkurang. BanyaknyaCO yang diikat oleh pohon-pohonan dan tumbuhan lain dapat dihitung dan diberi sertifikat. Sertifikat dijadikan milik masyarakat peserta program reboisasi/penghijauan. Sertifikat ini dapat dijual di pasar internasional dan menghasilkan valuta asing (valas). Karena penjualan sertifikat memakan waktu, pemerintah membeli dulu sertifikat itu dengan dana reboisasi/penghijauan.
Uang penjualan sertifikat adalah milik masyarakat peserta program. Bukan milik Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) ataupun pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah daerah. Kepada masyarakat diterangkan bahwa mereka akan terus mendapat uang selama hutantidak dirusak.Jika hutandirusak ataudibakar, CO.
Sumber :
Otto Soemarwoto Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran Bandung.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0310/20/opini/618287.htm. 20 Okt 2003
Sumber Gambar:
http://lh6.ggpht.com/_UCcD1yMK4gU/R-HTrE3I3aI/AAAAAAAABR4/0eWRS_nv6Wg/Imagen+268.jpg
CEGAH BENCANA ALAM DENGAN MELESTARIKAN HUTAN
“Penyakit misterius telah menyerang ayam, sapi dan domba hingga menyebabkan binatang-binatang itu sakit dan mati. Di mana-mana terdapat bayangan kematian. Para petani berbicara tentang banyaknya penyakit dalam keluarga mereka. Dokter-dokter menghadapi teka-teki penyakit baru yang muncul di antara pasien-pasiennya. Kematian sekonyong-konyong terjadi tidak hanya menimpa orang-orang dewasa, anak-anak juga terserang penyakit waktu bermain dan dalam beberapa jam kemudian meninggal dunia. Ada kesunyian yang aneh. Burung-burung, misalnya, kemanakah mereka pergi? Kenapa musibah demi musibah selalu terjadi dan menimpa anak manusia dan makhluk hidup lain?”
Demikian kutipan sebuah buku karya Rachel Carson, berjudul The Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi) yang diterbitkan pada 1962 silam. Pada masa itu, buku tersebut populer karena mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap kesadaran seseorang dalam memelihara atau melestarikan lingkungan hidup.
Sedangkan beberapa tahun sebelum buku itu diterbitkan, banyak sejumlah kota besar seperti Los Angeles mengalami masalah asap yang menyerupai kabut. Selimut asap itu tentunya mengganggu kesehatan, khususnya saluran pernafasan dan merusak pula perkebunan sayuran dan buah-buahan di kota itu. Atas kondisi itulah, terbitnya buku Rachel sangat disambut baik oleh masyarakat setempat, terlebih lagi dapat mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungan hidup. Memang, perilaku manusia terhadap lingkungan hidup mesti diperhatikan, karena hal itu merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan, bencana banjir dan longsor, kekurangan air, dan lain-lain. Tapi selain itu, kerusakan hutan dan terjadinya bencana alam juga ada yang disebabkan oleh faktor alam. Kitab suci agama Islam, Kristen dan Yahudi mencatat betapa banyak masalah lingkungan yang dihadapi umat manusia. Air bah yang dihadapi Nabi Nuh dan berbagai kesulitan yang dihadapi Nabi Musa di gunung pasir pada saat mengembara dari Mesir ke Kana’an juga menjadi salah satu permasalah lingkungan yang dihadapi manusia. Ada pula yang menyebutkan, ambruknya kerajaan di Mesopotamia disebabkan oleh salinisasi atau naiknya kadar garam dalam tanah yang disebabkan oleh pengairan. Proses salinisasi itu pada akhirnya menghancurkan kesuburan tanah pertanian.
Pada abad ke-14 Eropa dilanda wabah pes yang menewaskan ribuan orang. Kemudian pada abad ke-19, London dan sejumlah kota industri lainnya mengalami masalah asap kabut. Demikianlah, permasalahan lingkungan hidup bukanlah hal yang baru, tapi sudah ada sejak dahulu, bahkan sudah ada sejak bumi itu lahir. Bumi tidak statis, melainkan dinamis dan terus menerus mengalami perubahan. Hingga kini, perubahan-perubahan itu masih terus terjadi ditandai dengan gempa bumi yang menjadi-jadi, meletusnya gunung berapi, puting beliung, musim kemarau dan musim hujan yang terjadi secara abnormal. Bencana-bencana itu hanya sebagian saja yang terjadi akibat perilaku manusia dan sebagian lainnya akibat faktor alam.
Untuk menciptakan lingkungan hidup dalam kehidupan yang seimbang sangat tergantung dari kegiatan manusia. Sedangkan kegiatan manusia sangat dipengaruhi oleh tingkat kesadarannya masing-masing dalam memelihara dan melestarikan lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui, kehidupan bernegara itu didalamnya berisi kumpulan manusia yang disebut masyarakat, bagian terkecil dari masyarkat ialah keluarga. Dengan demikian, maka warna dari masyarakat itu ditentukan oleh keadaan keluarga.
Sedangkan mengenai kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, harus diawali dari kesadaran keluarga, yakni kesadaran dalam menghadapi dan menciptakan lingkungannya masing-masing. Misalnya, bagaimana menciptakan suasana bersih di sekitar rumah, bagaimana memelihara kebersihan di rumah, kemudian berkembang untuk menciptakan suasana bersih di sekitar masyarakat. Selanjutnya, apabila suasana dan tingkah laku seperti itu sudah membudaya, maka tinggal meningkatkan bagaimana mengelola atau membudidayakan lingkungan dengan berwawasan lingkungan. Perilaku manusia pada dasarnya dikendalikan oleh etika manusia itu sendiri. Lalu, bagaimanakah cara mengembangkan diri manusia etika lingkungan yang pada akhirnya nanti terwujud kelestarian hutan?
Etika adalah nilai moral seseorang atau kelompok manusia yang membimbing tindakan dan sikapnya. Nilai moral manusia itu kemudian membimbing seseorang berbuat baik, benar dan patut. Dalam perkembangan hidup manusia terdapat faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi nilai moral manusia, yakni kondisi lingkungan sosial dan lingkungan alam. Sedangkan nilai moral yang mempengaruhi perilaku manusia ditentukan oleh hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, hubungan manusia dengan manusia dalam lingkungan sosial dan hubungan manusia dengan berbagai komponen ekosistem dalam lingkungan alam. Dengan demikian, salah satu upaya melestarikan lingkungan dan hutan itu diperlukan sebuah etika lingkungan, termasuk kesadaran manusia dalam memelihara lingkungan dan hutan. Keberadaan hutan itu memiliki peran ganda, termasuk berperan dalam mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Bahkan, terdapat puluhan juta umat manusia di Indonesia yang secara langsung menggantungkan hidupnya terhadap sumber alam hayati, kenapa manusia dengan mudahnya merusak hutan? Kenapa harus ada pengrusakan hutan yang diakibatkan oleh tindakan manusia? Bukankah hutan seharusnya dilestarikan bersama-sama? Jika pun harus memanfaatkan hutan, bisa dilakukan sesuai dengan etika dan aturan yang berlaku? Tapi, kenapa tetap saja ada pengrusakan hutan?
Tidak bisakah manusia bersama-sama menjaga dan melestarikan hutan untuk kepentingan generasi selanjutnya. Jika hutan tetap rusak, bagaimana nasib anak dan cucu kita nanti?
Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Profesor Doktor Soekotjo menyebutkan bahwa selama beberapa puluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Penyebab kerusakan hutan dalam kurun waktu itu banyak disebabkan oleh kebakaran hutan dan aksi penebangan liar (illegal loging).
Ia mencatat, selama tahun 1985-1997 kerusakan hutan di Indonesia mencapai 22,46 juta hektar. Artinya, rata-rata kerusakan hutan per tahun di Indonesia sudah mencapai angka yang memprihatinkan, yakni seluas 1,6 juta hektar hutan. Menurut dia, penyebab kerusakan hutan di Indonesia itu ialah penebangan yang berlebihan disertai kurangnya pengawasan lapangan, maraknya penebangan liar, kebakaran hutan, dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman.
Kebakaran hutan terbesar pernah terjadi di Indonesia pada 1997, mengakibatkan hampir 70 persen hutan terbakar. Kerusakan hutan semakin meningkat ketika marak penebangan liar di Indonesia. Penebangan liar itu sendiri telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Selain itu, lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberi andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal sebenarnya, kriteria Direktorat Kehutanan mengenai Tebang Pilih Indonesia (TPI) sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. Namun pelaksanaan di lapangan, nampaknya kriteria itu tidak berjalan karena lemahnya pengawasan. Perum Perhutani mencatat, kerusakan hutan yang terjadi pada tahun 2007 mencapai kisaran 250 ribu-300 ribu hektar. Angka tersebut hampir menyamai jumlah kerusakan hutan yang terjadi selama 2006. Sedangkan dalam mengatasi kerusakan hutan itu, pihak Perhutani menyiapkan ratusan juta bibit pohon yang ditanami di beberapa lahan hutan yang kosong di berbagai daerah. Penanaman ratusan juta bibit pohon yang dilakukan di seluruh jajaran Perhutani itu ditargetkan bisa selesai sebelum tahun 2010 mendatang.
Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat, kerusakan hutan yang terjadi akibat penebangan hutan di Indonesia yang tidak terkendali sejak akhir tahun 1960-an. Pada saat itu, banyak orang melakukan penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar yang terjadi mulai tahun 1970 juga menyumbang laju kerusakan hutan di Indonesia. Selain itu, pengeluaran izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri pada tahun 1990 juga mengakibatkan kerusakan hutan. Kerusakan hutan semakin parah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dan beranggapan bahwa hutan merupakan sumber uang dan dapat dikuras habis hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam bukunya yang berjudul Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Otto Soemarwoto menyebutkan, sumber masalah kerusakan lingkungan hidup ialah terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan yang berlebih atau dilampauinya dayadukung lingkungan. Karena itu, hal tersebut harus segera ditangani. Jika permasalahan itu sudah bisa diatasi, baik urbanisasi maupun lahan kritis, maka akan dapat teratasi pula kerusakan lingkungan. Sedangkan jika permasalahan yang berupa tekanan penduduk yang berlebih tidak ditangani, maka masalah urbanisasi dan lahan kritis pun tidak akan bisa teratasi.
Tekanan penduduk terhadap lahan dapat dikurangi dengan menaikkan dayadukung lingkungan. Sebaliknya, penurunan dayadukung lingkungan akan menaikkan tekanan penduduk. Hal itulah yang sering terjadi dalam usaha menanggulangi permasalahan lahan kritis. Bermilyar-milyar rupiah telah dikeluarkan untuk penghijauan dan reboisasi, tapi hasilnya belum juga menggembirakan. Banyak pohon yang ditanami dalam rangka melakukan penghijauan dan reboisasi, tapi pohon-pohon itu dimatikan lagi oleh penduduk. Kegagalan penghijauan dan reboisasi tersebut dapat dipahami, karena kedua hal tersebut pada dasarnya menurunkan dayadukung lingkungan. Dalam hal penghijauan, pohon ditanam di lahan petani yang digarap. Pohon itu mengambil luas tertentu, sehingga jumlah luas lahan yang tersedia untuk tanaman petani menjadi berkurang. Karena itu, petani berusaha mematikan pohon-pohon itu. Apabila penghijauan dikaitkan dengan perbaikan pencagaran tanah, seperti dengan pembuatan sengkedan, maka penghijauan itu dapat menaikkan dayadukung lingkungan. Namun, usaha itu memerlukan banyak biaya, sehingga tidak banyak petani yang mengikutinya.
Reboisasi juga mempunyai efek yang sama sebagaimana usaha penghijauan, yakni akan mengurangi luas lahan yang dapat ditanami oleh peladang dan pengurangan produksi oleh naungan pohon. Perbedaannya dengan penghijauan ialah lahan yang direboisasi bukanlah milik peladang, melainkan milik negara. Para peladang menggarap lahan kehutanan itu secara tidak sah. Karena itu, jika dilihat dari sisi hukum, maka pihak Dinas Kehutanan mempunyai hak untuk mengambil kembali lahan kawasan hutan yang digarap oleh peladang. Hanya, peladang yang tidak mempunyai sumber kehidupan lain tidak mempunyai pilihan lain, selain menggarap lahan kehutanan itu. Dengan demikian jelas, dari segi ekologi manusia, penghijauan dan reboisasi sulit untuk bisa berhasil, selama usaha itu mempunyai efek menurunkan dayadukung lingkungan dan menghilangkan atau mengurangi sumber mata pencaharian penduduk.
Mengutip kesulitan ekologi manusia seperti itu, nampaknya perlu dicari perbaikan dan pencairan usaha penanggulangan alternatif yang ditujukan pada pemecahan sumber masalah, yakni sedapat-dapatnya mengurangi dan bila memungkinkan meniadakan tekanan penduduk yang melampaui dayadukung lingkungan. Tekanan penduduk bisa dikurangi dengan menaikkan dayadukung lingkungan dan atau mengurangi jumlah petani. Usaha pengurangan tekanan merupakan usaha baik untuk mengatasi permasalahan lahan kritis maupun urbanisasi. Karena itu, penanggulangan lahan kritis bukanlah masalah kehutanan yang sempit, melainkan masalah pembangunan yang luas. Beberapa kemungkinan yang bisa dijadikan cara alternatif ialah empat jenis sistem penghijauan berturut-turut, yakni sawah, pekarangan, talun-kebun, dan perkebunan rakyat, serta sistem perikanan dan penciptaan lapangan kerja baru. Namun, hal tersebut hanya sebagai contoh cara alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam penanggulangan lahan kritis, dan selain itu, kemungkinan masih ada lagi cara alternatif lain. Para ilmuwan di Fakultas Kehutanan UGM optimistis hutan di Indonesia masih bisa dipulihkan dalam kurun waktu 40 tahun mendatang. Caranya ialah dengan melakukan teknik pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan, serta pengendalian hama dan penyakit. Penanaman hutan secara intensif menjadi pilihan terbaik, karena bisa diprediksi untuk beberapa tahun ke depan. Sehingga, kebutuhan kayu bisa diperhitungkan tanpa harus merusak habitat hutan alam yang masih baik. Meski demikian, untuk mempertahankan seluruh hutan di Indonesia yang kini kondisinya sudah sangat memprihatinkan itu tidak mungkin. Tapi paling tidak, 50 persen hutan alam di Indonesia harus tetap dijaga keasliannya. Sisanya, bisa diusahakan menjadi hutan tanaman industri. Menjaga 50 persen hutan alam itu sendiri berguna untuk keseimbangan ekosistem, mempertahankan genetik tanaman dan menjadi sumber tanaman obat serta sumber makanan. Karena itu, mari bersama-sama menjaga dan melestarikan hutan. Mulailah menanam pohon untuk kebutuhan kayu keluarga di masa datang, memanfaatkan kayu dengan bijak dan taat hukum. (*)
REFERENSI
A. Mangunhardjana, 1997, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z, Yogyakarta, Kanisius.
Emil Salim, 2000, Kembali ke Jalan Lurus (Esai-Esai 1966-99), Jakarta, Alvabet.
Otto Soemarwoto, 1985, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Bandung, Djambatan.
P. Djoko Subagyo, 1992, Hukum Lingkungan (Masalah dan Penanggulangannya), Jakarta, Rineka Cipta.
Sumber :
Ali Khumaini
Jumat, 24 Oktober 2008
http://www.perumperhutani.com/index.php?option=com_content&task=view&id=485
Sumber Gambar :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/95/Tropical_forest.JPG
Langganan:
Postingan (Atom)