Jumat, 20 Maret 2009
HUTAN, REBOISASI-PENGHIJAUAN, DAN AIR
BEBERAPA WAKTU lalu kita mengalami musibah kekeringan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah untuk kesekian kalinya menggariskan lagi kebijakan melakukan reboisasi. Agar reboisasi dapat berdaya guna sebesar-besarnya, perlu diperhatikan beberapa mitos tentang hubungan hutan dan air.< air. p>
Mitos 1. Hutan menambah air. Jika hujan jatuh di hutan, sebagian air hujan diintersepsi (tertahan) oleh tajuk hutan. Hanya sebagian hujan saja yang jatuh ke tanah. Ini kita alami pada waktu kita berteduh di bawah pohon. Jika hujan tidak keras, keringlah kita. Hujan yang tertahan oleh tajuk pohon menguap kembali ke udara. Makin besar dan lebat tajuk pohon, makin banyak air hujan yang tertahan dan hilang sebagai uap air.
Seperti makhluk hidup lain, pohon juga berkeringat, yang disebut evapotranspirasi. Air evapotranspirasi berasal dari tanah yang diserap oleh pohon. Pohon dengan tajuk besar yang hijau sepanjang tahun mempunyai laju evapotranspirasi per tahun yang tinggi, misalnya pinus. Sebaliknya, pohon yang menggugurkan daunnya dalam musim kemarau, laju evapotranspirasi per tahunnya rendah, misalnya jati.
Dengan adanya intersepsi dan evapotranspirasi, sebagian air hilang menguap. Jadi, hutan tidak menambah air, tetapi mengurangi air. Jumlah air per tahun berkurang. Terdapat literatur ilmiah yang luas tentang hal ini. Namun, dengan adanya hutan, permukaan tanah tertutup serasah dan humus. Tanah menjadi gembur. Air dengan mudah meresap ke dalam tanah dan mengisi persediaan air tanah. Air yang mengalir di permukaan tanah (air larian) berkurang. Oleh karena itu, walaupun jumlah air per tahun berkurang, persediaan air untuk musim kemarau bertambah. Bahaya banjir pun berkurang.
Mitos 2. Penebangan hutan mengurangi air. Dengan penebangan hutan, intersepsi air hujan berkurang. Laju evapotranspirasi pun berkurang. Dengan demikian, penebangan hutan tidak mengurangi jumlah air, melainkan menambah air. Ini pun telah ditunjukkan dalam banyak laporan ilmiah. Akan tetapi, dengan penebangan hutan, serasah dan humus hilang. Kegemburan tanah berkurang. Jika hujan turun, laju penyerapan air ke dalam tanah berkurang. Pengisian persediaan air tanah berkurang. Air yang mengalir di atas permukaan tanah naik. Akibatnya, persediaan air dalam musim kemarau berkurang. Sebaliknya, dalam musim hujan kita kelebihan air yang sebagian berupa banjir. Jadi, dengan penebangan hutan, walaupun jumlah air bertambah, sebagian air berupa banjir dalam musim hujan, sedangkan dalam musim kemarau kita kekurangan air. Laju erosi pun meningkat.
Mitos 3. Reboisasi/penghijauan menambah air. Reboisasi adalah penanaman pohon dalam kawasan hutan yang rusak dan penghijauan penanaman pohon di luar kawasan hutan. Reboisasi/penghijauan memperluas tajuk pohon sehingga intersepsi hujan dan evapotranspirasi bertambah sehingga reboisasi/penghijauan mengurangi jumlah air per tahun. Banyak literatur ilmiah yang melaporkan hal ini. Namun, reboisasi/penghijauan menambah laju peresapan air ke dalam tanah dan mengurangi volume air yang mengalir di atas permukaan tanah. Dengan demikian, walaupun jumlah air per tahunnya berkurang, bahaya banjir dalam musim hujan berkurang dan bahaya kekurangan air dalam musim kemarau berkurang pula. Laju erosi juga turun. Untuk mencapai tujuan ini, khusus untuk penghijauan harus dicatat agar diusahakan adanya tumbuhan bawah serta terjadinya serasah dan humus di bawah pohon untuk meningkatkan peresapan air ke dalam tanah dan mengurangi volume air yang mengalir di atas permukaan tanah. Jika tidak, penghijauan justru meningkatkan laju erosi.
Mitos 4. Efek reboisasi/penghijauan lama. Dalam kondisi iklim dan tanah di Indonesia di hutan yang rusak gulma dan tumbuhan kecil dengan cepat dapat tumbuh kembali. Serasah pun dengan cepat terbentuk. Secara eksperimental telah ditunjukkan, fungsi hidro-orologi hutan terutama dilakukan oleh tumbuhan bawah (undergrowth) dan serasah. Karena itu, fungsi hidro-orologi juga dapat pulih dengan cepat dalam bilangan setahun-dua tahun saja. Hal ini juga telah dibuktikan secara eksperimental. Bahkan, tanpa reboisasi/penghijauan pun pemulihan fungsi hidro-orologi dapat terjadi dengan cepat, asalkan hutan tidak diganggu lagi. Dengan perkataan lain, fungsi hidro-orologi dapat juga pulih dengan cepat melalui reboisasi/penghijauan alamiah.
Pengelolaan reboisasi/penghijauan
Di dunia fana tak ada hal yang 100 persen positif. Selalu ada segi negatifnya. Demikian pula hutan mempunyai efek positif maupun negatif. Karena itu, reboisasi/penghijauan harus dikelola dengan baik untuk memperbesar efek positif dan memperkecil efek negatif. Dengan mengingat uraian di atas, kita usahakan agar peresapan air hujan ke dalam tanah dapat diperbesar secepatnya sehingga pengisian kembali persediaan air tanah dengan cepat pulih. Dengan demikian, bahaya banjir juga berkurang. Karena hutan mengurangi air, reboisasi/ penghijauan dilakukan dengan jenis pohon yang laju evapotranspirasinya rendah. Sudah barang tentu dengan memperhatikan iklim dan tanah. Misalnya, jati di daerah dengan musim kemarau panjang, bukan pinus. Pengalaman menunjukkan, di daerah yang dengan sukses dilakukan reboisasi dengan pinus, penduduk mengeluh bahwa airnya menyusut. Dapat juga dilakukan reboisasi/penghijauan dengan jenis pohon yang evapotranspirasinya tinggi, misalnya lamtoro. Dalam musim kemarau, lamtoro itu dipangkas untuk pakan ternak dan menghasilkan kayu bakar. Dengan pemangkasan itu, laju evapotranspirasi dikurangi sampai minimum.
Reboisasi/penghijauan secara alamiah sangat sesuai untuk rehabilitasi hutan lindung dan taman nasional. Vegetasi yang tumbuh terdiri atas bermacam-macam jenis sesuai dengan kondisi tanah dan iklim daerah itu. Keanekaan hayatinya tinggi. Dana untuk reboisasi lalu digunakan untuk pembangunan pedesaan guna menanggulangi kemiskinan. Dengan demikian, kebutuhan masyarakat untuk merambah hutan ditiadakan atau paling sedikit dikurangi. Hutan terlindung dan dapat pulih secara alamiah. Demikian pula fungsi hidro-orologinya.
Sumber dana
Sumber pertama dana reboisasi/penghijauan berupa dana reboisasi dari pemerintah. Dapat juga diusahakan sumber dana luar negeri melalui debt swap, yaitu pembayaran utang luar negeri dengan rupiah. Dengan persetujuan bersama, rupiah itu digunakan untuk reboisasi/penghijauan.
Sumber potensial lain ialah Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mechanism (CDM) dalam kerangka Protokol Kyoto. Dalam hal ini MPB berupa reboisasi/penghijauan. Reboisasi/penghijauanmenyerapCO dari udara dan disimpan dalam tubuhtumbuhan sehinggakadar CO, bahayapemanasan globalberkurang. BanyaknyaCO yang diikat oleh pohon-pohonan dan tumbuhan lain dapat dihitung dan diberi sertifikat. Sertifikat dijadikan milik masyarakat peserta program reboisasi/penghijauan. Sertifikat ini dapat dijual di pasar internasional dan menghasilkan valuta asing (valas). Karena penjualan sertifikat memakan waktu, pemerintah membeli dulu sertifikat itu dengan dana reboisasi/penghijauan.
Uang penjualan sertifikat adalah milik masyarakat peserta program. Bukan milik Perusahaan Hutan Negara Indonesia (Perhutani) ataupun pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah daerah. Kepada masyarakat diterangkan bahwa mereka akan terus mendapat uang selama hutantidak dirusak.Jika hutandirusak ataudibakar, CO.
Sumber :
Otto Soemarwoto Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran Bandung.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0310/20/opini/618287.htm. 20 Okt 2003
Sumber Gambar:
http://lh6.ggpht.com/_UCcD1yMK4gU/R-HTrE3I3aI/AAAAAAAABR4/0eWRS_nv6Wg/Imagen+268.jpg
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sangat setuju dengan diadakanya Reboisasi......
BalasHapusmengingat pentingnyqa keselarasan alam kedepannya.........
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSelamatkan bumi kita dengan menanam pohon...
BalasHapus