Jumat, 20 Maret 2009

CEGAH BENCANA ALAM DENGAN MELESTARIKAN HUTAN


“Penyakit misterius telah menyerang ayam, sapi dan domba hingga menyebabkan binatang-binatang itu sakit dan mati. Di mana-mana terdapat bayangan kematian. Para petani berbicara tentang banyaknya penyakit dalam keluarga mereka. Dokter-dokter menghadapi teka-teki penyakit baru yang muncul di antara pasien-pasiennya. Kematian sekonyong-konyong terjadi tidak hanya menimpa orang-orang dewasa, anak-anak juga terserang penyakit waktu bermain dan dalam beberapa jam kemudian meninggal dunia. Ada kesunyian yang aneh. Burung-burung, misalnya, kemanakah mereka pergi? Kenapa musibah demi musibah selalu terjadi dan menimpa anak manusia dan makhluk hidup lain?”
Demikian kutipan sebuah buku karya Rachel Carson, berjudul The Silent Spring (Musim Semi yang Sunyi) yang diterbitkan pada 1962 silam. Pada masa itu, buku tersebut populer karena mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap kesadaran seseorang dalam memelihara atau melestarikan lingkungan hidup.

Sedangkan beberapa tahun sebelum buku itu diterbitkan, banyak sejumlah kota besar seperti Los Angeles mengalami masalah asap yang menyerupai kabut. Selimut asap itu tentunya mengganggu kesehatan, khususnya saluran pernafasan dan merusak pula perkebunan sayuran dan buah-buahan di kota itu. Atas kondisi itulah, terbitnya buku Rachel sangat disambut baik oleh masyarakat setempat, terlebih lagi dapat mempengaruhi perilaku manusia terhadap lingkungan hidup. Memang, perilaku manusia terhadap lingkungan hidup mesti diperhatikan, karena hal itu merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan, bencana banjir dan longsor, kekurangan air, dan lain-lain. Tapi selain itu, kerusakan hutan dan terjadinya bencana alam juga ada yang disebabkan oleh faktor alam. Kitab suci agama Islam, Kristen dan Yahudi mencatat betapa banyak masalah lingkungan yang dihadapi umat manusia. Air bah yang dihadapi Nabi Nuh dan berbagai kesulitan yang dihadapi Nabi Musa di gunung pasir pada saat mengembara dari Mesir ke Kana’an juga menjadi salah satu permasalah lingkungan yang dihadapi manusia. Ada pula yang menyebutkan, ambruknya kerajaan di Mesopotamia disebabkan oleh salinisasi atau naiknya kadar garam dalam tanah yang disebabkan oleh pengairan. Proses salinisasi itu pada akhirnya menghancurkan kesuburan tanah pertanian.

Pada abad ke-14 Eropa dilanda wabah pes yang menewaskan ribuan orang. Kemudian pada abad ke-19, London dan sejumlah kota industri lainnya mengalami masalah asap kabut. Demikianlah, permasalahan lingkungan hidup bukanlah hal yang baru, tapi sudah ada sejak dahulu, bahkan sudah ada sejak bumi itu lahir. Bumi tidak statis, melainkan dinamis dan terus menerus mengalami perubahan. Hingga kini, perubahan-perubahan itu masih terus terjadi ditandai dengan gempa bumi yang menjadi-jadi, meletusnya gunung berapi, puting beliung, musim kemarau dan musim hujan yang terjadi secara abnormal. Bencana-bencana itu hanya sebagian saja yang terjadi akibat perilaku manusia dan sebagian lainnya akibat faktor alam.

Untuk menciptakan lingkungan hidup dalam kehidupan yang seimbang sangat tergantung dari kegiatan manusia. Sedangkan kegiatan manusia sangat dipengaruhi oleh tingkat kesadarannya masing-masing dalam memelihara dan melestarikan lingkungan hidup. Sebagaimana diketahui, kehidupan bernegara itu didalamnya berisi kumpulan manusia yang disebut masyarakat, bagian terkecil dari masyarkat ialah keluarga. Dengan demikian, maka warna dari masyarakat itu ditentukan oleh keadaan keluarga.

Sedangkan mengenai kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, harus diawali dari kesadaran keluarga, yakni kesadaran dalam menghadapi dan menciptakan lingkungannya masing-masing. Misalnya, bagaimana menciptakan suasana bersih di sekitar rumah, bagaimana memelihara kebersihan di rumah, kemudian berkembang untuk menciptakan suasana bersih di sekitar masyarakat. Selanjutnya, apabila suasana dan tingkah laku seperti itu sudah membudaya, maka tinggal meningkatkan bagaimana mengelola atau membudidayakan lingkungan dengan berwawasan lingkungan. Perilaku manusia pada dasarnya dikendalikan oleh etika manusia itu sendiri. Lalu, bagaimanakah cara mengembangkan diri manusia etika lingkungan yang pada akhirnya nanti terwujud kelestarian hutan?

Etika adalah nilai moral seseorang atau kelompok manusia yang membimbing tindakan dan sikapnya. Nilai moral manusia itu kemudian membimbing seseorang berbuat baik, benar dan patut. Dalam perkembangan hidup manusia terdapat faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi nilai moral manusia, yakni kondisi lingkungan sosial dan lingkungan alam. Sedangkan nilai moral yang mempengaruhi perilaku manusia ditentukan oleh hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, hubungan manusia dengan manusia dalam lingkungan sosial dan hubungan manusia dengan berbagai komponen ekosistem dalam lingkungan alam. Dengan demikian, salah satu upaya melestarikan lingkungan dan hutan itu diperlukan sebuah etika lingkungan, termasuk kesadaran manusia dalam memelihara lingkungan dan hutan. Keberadaan hutan itu memiliki peran ganda, termasuk berperan dalam mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Bahkan, terdapat puluhan juta umat manusia di Indonesia yang secara langsung menggantungkan hidupnya terhadap sumber alam hayati, kenapa manusia dengan mudahnya merusak hutan? Kenapa harus ada pengrusakan hutan yang diakibatkan oleh tindakan manusia? Bukankah hutan seharusnya dilestarikan bersama-sama? Jika pun harus memanfaatkan hutan, bisa dilakukan sesuai dengan etika dan aturan yang berlaku? Tapi, kenapa tetap saja ada pengrusakan hutan?

Tidak bisakah manusia bersama-sama menjaga dan melestarikan hutan untuk kepentingan generasi selanjutnya. Jika hutan tetap rusak, bagaimana nasib anak dan cucu kita nanti?

Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Profesor Doktor Soekotjo menyebutkan bahwa selama beberapa puluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Penyebab kerusakan hutan dalam kurun waktu itu banyak disebabkan oleh kebakaran hutan dan aksi penebangan liar (illegal loging).

Ia mencatat, selama tahun 1985-1997 kerusakan hutan di Indonesia mencapai 22,46 juta hektar. Artinya, rata-rata kerusakan hutan per tahun di Indonesia sudah mencapai angka yang memprihatinkan, yakni seluas 1,6 juta hektar hutan. Menurut dia, penyebab kerusakan hutan di Indonesia itu ialah penebangan yang berlebihan disertai kurangnya pengawasan lapangan, maraknya penebangan liar, kebakaran hutan, dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman.

Kebakaran hutan terbesar pernah terjadi di Indonesia pada 1997, mengakibatkan hampir 70 persen hutan terbakar. Kerusakan hutan semakin meningkat ketika marak penebangan liar di Indonesia. Penebangan liar itu sendiri telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Selain itu, lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberi andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal sebenarnya, kriteria Direktorat Kehutanan mengenai Tebang Pilih Indonesia (TPI) sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. Namun pelaksanaan di lapangan, nampaknya kriteria itu tidak berjalan karena lemahnya pengawasan. Perum Perhutani mencatat, kerusakan hutan yang terjadi pada tahun 2007 mencapai kisaran 250 ribu-300 ribu hektar. Angka tersebut hampir menyamai jumlah kerusakan hutan yang terjadi selama 2006. Sedangkan dalam mengatasi kerusakan hutan itu, pihak Perhutani menyiapkan ratusan juta bibit pohon yang ditanami di beberapa lahan hutan yang kosong di berbagai daerah. Penanaman ratusan juta bibit pohon yang dilakukan di seluruh jajaran Perhutani itu ditargetkan bisa selesai sebelum tahun 2010 mendatang.

Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat, kerusakan hutan yang terjadi akibat penebangan hutan di Indonesia yang tidak terkendali sejak akhir tahun 1960-an. Pada saat itu, banyak orang melakukan penebangan kayu secara manual. Penebangan hutan skala besar yang terjadi mulai tahun 1970 juga menyumbang laju kerusakan hutan di Indonesia. Selain itu, pengeluaran izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri pada tahun 1990 juga mengakibatkan kerusakan hutan. Kerusakan hutan semakin parah dengan kondisi pemerintahan yang korup, dan beranggapan bahwa hutan merupakan sumber uang dan dapat dikuras habis hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Dalam bukunya yang berjudul Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Otto Soemarwoto menyebutkan, sumber masalah kerusakan lingkungan hidup ialah terjadinya tekanan penduduk terhadap lahan yang berlebih atau dilampauinya dayadukung lingkungan. Karena itu, hal tersebut harus segera ditangani. Jika permasalahan itu sudah bisa diatasi, baik urbanisasi maupun lahan kritis, maka akan dapat teratasi pula kerusakan lingkungan. Sedangkan jika permasalahan yang berupa tekanan penduduk yang berlebih tidak ditangani, maka masalah urbanisasi dan lahan kritis pun tidak akan bisa teratasi.

Tekanan penduduk terhadap lahan dapat dikurangi dengan menaikkan dayadukung lingkungan. Sebaliknya, penurunan dayadukung lingkungan akan menaikkan tekanan penduduk. Hal itulah yang sering terjadi dalam usaha menanggulangi permasalahan lahan kritis. Bermilyar-milyar rupiah telah dikeluarkan untuk penghijauan dan reboisasi, tapi hasilnya belum juga menggembirakan. Banyak pohon yang ditanami dalam rangka melakukan penghijauan dan reboisasi, tapi pohon-pohon itu dimatikan lagi oleh penduduk. Kegagalan penghijauan dan reboisasi tersebut dapat dipahami, karena kedua hal tersebut pada dasarnya menurunkan dayadukung lingkungan. Dalam hal penghijauan, pohon ditanam di lahan petani yang digarap. Pohon itu mengambil luas tertentu, sehingga jumlah luas lahan yang tersedia untuk tanaman petani menjadi berkurang. Karena itu, petani berusaha mematikan pohon-pohon itu. Apabila penghijauan dikaitkan dengan perbaikan pencagaran tanah, seperti dengan pembuatan sengkedan, maka penghijauan itu dapat menaikkan dayadukung lingkungan. Namun, usaha itu memerlukan banyak biaya, sehingga tidak banyak petani yang mengikutinya.

Reboisasi juga mempunyai efek yang sama sebagaimana usaha penghijauan, yakni akan mengurangi luas lahan yang dapat ditanami oleh peladang dan pengurangan produksi oleh naungan pohon. Perbedaannya dengan penghijauan ialah lahan yang direboisasi bukanlah milik peladang, melainkan milik negara. Para peladang menggarap lahan kehutanan itu secara tidak sah. Karena itu, jika dilihat dari sisi hukum, maka pihak Dinas Kehutanan mempunyai hak untuk mengambil kembali lahan kawasan hutan yang digarap oleh peladang. Hanya, peladang yang tidak mempunyai sumber kehidupan lain tidak mempunyai pilihan lain, selain menggarap lahan kehutanan itu. Dengan demikian jelas, dari segi ekologi manusia, penghijauan dan reboisasi sulit untuk bisa berhasil, selama usaha itu mempunyai efek menurunkan dayadukung lingkungan dan menghilangkan atau mengurangi sumber mata pencaharian penduduk.

Mengutip kesulitan ekologi manusia seperti itu, nampaknya perlu dicari perbaikan dan pencairan usaha penanggulangan alternatif yang ditujukan pada pemecahan sumber masalah, yakni sedapat-dapatnya mengurangi dan bila memungkinkan meniadakan tekanan penduduk yang melampaui dayadukung lingkungan. Tekanan penduduk bisa dikurangi dengan menaikkan dayadukung lingkungan dan atau mengurangi jumlah petani. Usaha pengurangan tekanan merupakan usaha baik untuk mengatasi permasalahan lahan kritis maupun urbanisasi. Karena itu, penanggulangan lahan kritis bukanlah masalah kehutanan yang sempit, melainkan masalah pembangunan yang luas. Beberapa kemungkinan yang bisa dijadikan cara alternatif ialah empat jenis sistem penghijauan berturut-turut, yakni sawah, pekarangan, talun-kebun, dan perkebunan rakyat, serta sistem perikanan dan penciptaan lapangan kerja baru. Namun, hal tersebut hanya sebagai contoh cara alternatif yang perlu dipertimbangkan dalam penanggulangan lahan kritis, dan selain itu, kemungkinan masih ada lagi cara alternatif lain. Para ilmuwan di Fakultas Kehutanan UGM optimistis hutan di Indonesia masih bisa dipulihkan dalam kurun waktu 40 tahun mendatang. Caranya ialah dengan melakukan teknik pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan, serta pengendalian hama dan penyakit. Penanaman hutan secara intensif menjadi pilihan terbaik, karena bisa diprediksi untuk beberapa tahun ke depan. Sehingga, kebutuhan kayu bisa diperhitungkan tanpa harus merusak habitat hutan alam yang masih baik. Meski demikian, untuk mempertahankan seluruh hutan di Indonesia yang kini kondisinya sudah sangat memprihatinkan itu tidak mungkin. Tapi paling tidak, 50 persen hutan alam di Indonesia harus tetap dijaga keasliannya. Sisanya, bisa diusahakan menjadi hutan tanaman industri. Menjaga 50 persen hutan alam itu sendiri berguna untuk keseimbangan ekosistem, mempertahankan genetik tanaman dan menjadi sumber tanaman obat serta sumber makanan. Karena itu, mari bersama-sama menjaga dan melestarikan hutan. Mulailah menanam pohon untuk kebutuhan kayu keluarga di masa datang, memanfaatkan kayu dengan bijak dan taat hukum. (*)

REFERENSI
A. Mangunhardjana, 1997, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z, Yogyakarta, Kanisius.
Emil Salim, 2000, Kembali ke Jalan Lurus (Esai-Esai 1966-99), Jakarta, Alvabet.
Otto Soemarwoto, 1985, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Bandung, Djambatan.
P. Djoko Subagyo, 1992, Hukum Lingkungan (Masalah dan Penanggulangannya), Jakarta, Rineka Cipta.

Sumber :
Ali Khumaini
Jumat, 24 Oktober 2008
http://www.perumperhutani.com/index.php?option=com_content&task=view&id=485

Sumber Gambar :
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/9/95/Tropical_forest.JPG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar